50 Tahun Masjid dan Ini Gereja Berdampingan

Masjid dempet dengan gereja
Sumber :
  • VIVAnews/Luqman

VIVAnews - Masjid Al-Muqarrabien, dan Gereja Masehi Injil Sangihe Talaud Mahanaim, di Jalan Enggano Tanjung Priok, Jakarta Utara, adalah tempat ibadah yang hanya dipisahkan oleh tembok pembatas dua bangunan itu.

Kedua tempat ibadah tersebut berdiri sejak setengah abad lalu. Saat berada di salah satu rumah ibadah tersebut terdengar nyanyian gereja dan adzan yang saling bersahutan tanpa berseteru.

"Kedua tempat ibadah ini mungkin tempat ibadah satu-satunya di Indonesia yang menempel," kata H. TB Ach. Khotib, 74 tahun, Imam Besar Masjid Al-Muqarrabien, ketika ditemui Rabu 25 Juli 2012.

Menurut Khotib, karena letaknya yang sangat dekat, kedua tempat ibadah ini merupakan lambang kerukunan beragama. Nilai toleransi untuk saling menghormati seperti sudah mendarah daging, baik bagi jemaat gereja maupun jamaah masjid.

Gerhana Matahari Bisa 'Mengocok' Emosi Manusia sampai Mewek

"Dalam kegiatan besar Idul Fitri dan Natal, kami saling membantu dan menghormati dengan menjaga keamanan dan membantu satu sama lain, seperti menyiapkan lahan parkir para jamaat," ujarnya.

Pihak gereja sering memberikan bantuan saat pihak masjid melakukan kegiatan Idul Fitri, bakti sosial maupun khitanan massal. "Bahkan mereka ikut menyumbang hidangan untuk berbuka saat Ramadan. Mereka juga ikut memberikan sumbangan berupa uang dan lainnya saat masjid menggelar bhakti sosial dan khitanan missal," terangnya.

Hal tersebut sesuai dengan arti kata Al-Muqarrabien, yang mengandung arti saling menghormati, menjaga kesatuan dan persatuan. Sehingga para jamaah di masjid itu dapat terus hidup berdampingan tanpa ada masalah apapun.

"Masyarakat banyak yang kagum dengan kerjasama yang terjalin antara masjid dan gereja tersebut. Kami tetap menanamkan dan menjaga nilai-nilai toleransi antar umat bergama, sebagaimana diajarkan oleh para pendiri masjid," ucap Khotib.

Masjid yang dibangun oleh para pelaut muslim yang singgah di pelabuhan Tanjungpriok pada tahun 1959 ini, memiliki dua lantai dan mampu menampung hingga 3.000 jamaah.

"Mesjid ini sudah sering direnovasi, dan telah mendapat bantuan sebesar Rp20 juta dari Bazis DKI Jakarta," tuturnya.

Ketua Jemaat Gereja Mahanaim, Tatalede Barakati, menceritakan bahwa bukan hanya bangunannya yang berdampingan. Namun jemaat dan jamaah masing-masing tempat ibadah itu akrab menjalin kebersamaan.

Persib Bandung Bagi-bagi Takjil Gratis, Maskot Ikut Turun ke Jalan

"Yang paling berbekas adalah situasi saat gereja tersebut akan diserang oleh sekelompok orang ketika terjadi peristiwa Tanjung Priok dan kerusuhan 1998. Ketika itu warga muslim yang merupakan jamaah Masjid Al-Muqarrabien justru melindungi kami," kata Barakati.

Dikatakannya, sejak awal dibangun pada 1957 oleh para pelaut kristen, kegiatan ibadah di dua tempat itu tidak pernah terganggu. Misalnya, adzan
berkumandang dan juga saat jemaat gereja tengah melaksanakan ibadah yang tidak mengganggu para jamaat dan jamaah itu.

"Kami memang seperti saudara sekandung, karena letaknya yang berdempetan dengan menggunakan satu tembok penghubung dan tidak pernah terjadi masalah apapun dari dua pengurus tempat ibadah itu," ucapnya.

Layaknya saudara, maka nilai toleransi antar keduanya benar-benar ditanamkan, bukan hanya antar pemimpin kedua tempat ibadah tetapi juga ditularkan kepada para jemaat gereja dan jamaah masjid.

Otto Hasibuan Klaim Pemilu 2024 Paling Damai, Bukan Paling Buruk

Satu bentuk toleransi yang tinggi, yang terjadi antar keduanya terlihat ketika pihak gereja membatalkan jadwal kebaktian pada Minggu pagi karena bertepatan dengan Idul Fitri. "Kami memberi kesempatan kepada jamaah masjid untuk menunaikan ibadahnya. Dan kebaktian di gereja ini pun lantas digeser ke sore hari," ujarnya.

Kemudian saat Salat Jumat, lahan parkir di gereja digunakan untuk parkir motor orang yang salat. Sebaliknya saat kebaktian setiap Minggu, jemaat bisa menggunakan lahan parkir di masjid.

Kebiasaan untuk saling membantu dan berbagi, juga diperlihatkan oleh pengurus dua tempat ibadah beda agama ini dengan mengadakan kegiatan-kegiatan sosial, seperti kerja bakti, pasar murah, maupun pengobatan cuma-cuma.

"Pihak gereja juga menyediakan makanan ringan untuk berbuka, baik yang disediakan di depan gereja maupun kami bagikan ke rumah-rumah di sekitar gereja," ungkapnya.

Gereja Terancam Digusur

Namun, di balik simbol kerukunan itu, ada rencana pemerintah untuk menghancurkan bangunan yang menjadi simbol toleransi beragama itu. Gereja masuk dalam lahan yang akan digusur dan dipindahkan ke Jalan Melur I RW 13, Rawabadakutara, Koja, Jakarta Utara oleh Suku Dinas (Sudin) Tata Kota Jakarta Utara.

Rencananya akan digunakan sebagai pelebaran jalan dan pembangunan taman. "Gereja dan masjid ini punya nilai historis sebagai simbol kerukunan beragama. Pemerintah kota seharusnya menjadikannya sebagai cagar budaya, bukan justru menggusurnya," ucap Barakati

Meski begitu, pihak gereja tidak akan menghalangi setiap program pemerintah yang bertujuan mensejahterakan masyarakatnya. Menurutnya dua bangunan tempat ibadah berbeda agama ini seharusnya dapat dijadikan simbol keberagaman di Jakarta, bahkan Indonesia.

Hal senada juga dikatakan oleh H. TB Ach. Khotib, yang menyayangkan rencana penggusuran gereja tersebut. Sebab, keharmonisan ini sudah berlangsung puluhan tahun yang lalu dan semestinya harus dilestarikan. "Mudah-mudahan pemerintah dapat memikirkan kembali rencana tersebut, karena ini seperti cagar budaya yang harus dilestarikan," tandasnya.

Keharmonisan antar umat beragama, tampaknya akan mulai terkikis di bangsa ini. Sangat disayangkan, bila bentuk nyata keharmonisan beragama yang telah diwujudkan oleh Masjid Al Muqarrabien dan Gereja Mahanaim selama lebih dari setengah abad harus hilang begitu saja.

Pemerintah seharusnya mempertimbangkan kembali rencana penataan kota yang terpaksa harus membuang simbol kerukunan beragama itu. Sebaiknya pemerintah malah menetapkan kedua tempat ibadah itu sebagai bangunan cagar budaya yang perlu dilestarikan. (adi)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya