Ayah Jual Ginjal Demi Tebus Ijazah, Ini Respons Pesantren Nurul Iman

Sugiyanto iklankan jual ginjal demi tebus ijazah anak
Sumber :
  • Antara/ Reno Esnir
VIVAnews
Ini Salah Satu Wasiat Babe Cabita Terkait Kepergiannya
- Pesantren Al-Ashriyyah Nurul Iman, Parung, Bogor, menyatakan informasi pihak pesantren menahan ijazah Sarah Melanda Ayu tidak sepenuhnya benar. Penahanan ijazah ini membuat ayah Sarah, Mugiyanto, melakukan aksi menjual ginjal di Bundaran Hotel Indonesia.

Video Kecelakaan Motor Akibat Pengemudi Mobil Buka Pintu Sembarangan

Hubungan Masyarakat Pesantren Nurul Iman, Syaifuddin, menyatakan Sarah Melanda Ayu memang pernah tercatat sebagai siswa sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas di pesantren tersebut. Sarah juga pernah berkuliah di salah satu pendidikan tinggi yang dikelola pesantren, namun kemudian putus di tengah jalan.
Realme 12 5G Bisa Jadi Opsi


"Dia itu melanggar peraturan berkali-kali," kata Syaifuddin saat dihubungi VIVAnews, Rabu 26 Juli 2013. Pelanggarannya antara lain kabur dari pondok dengan melompat pagar.


Sarah akhirnya kembali ke sekolah lagi setelah pendiri sekolah, Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim atau dipanggil Abah, memaafkan. Namun di tingkat perguruan tinggi, Sarah putus di tengah jalan.


Pelanggaran-pelanggaran itu, kata Syaifuddin, ada hukumannya. "Berupa denda," katanya.


Namun Syaifuddin menegaskan, Pondok Pesantren ini gratis dari tingkat SD sampai perguruan tinggi. Mulai dari pendidikan, akomodasi, makan-minum dan sampai sarana belajar semua gratis.


Karena itu, mendengar aksi ayah Sarah berniat menjual ginjal demi menebus ijazah anaknya, Syaifuddin meminta media mengklarifikasi langsung kepadanya. "Kita mungkin mendengar berita negatif saja, sebaiknya datang langsung saja ke sini menemui kami," kata Syaifuddin.


Sebelumnya, Sugiyanto menjelaskan, anaknya sekolah selama 7 tahun di sana. "Tahun lalu lulus SMA, sempat kuliah di sana beberapa bulan. Namun karena ada masalah di ponpes itu, anak saya keluar," ujarnya.


Sugiyanto menambahkan, putrinya masuk ke ponpes sejak tahun 2005 dan lulus pada tahun 2012. Dia diminta uang untuk menebus ijazah SMP dan SMA anaknya selama bersekolah di sana. Awalnya Sugiyanto dijanjikan bahwa ijazah tersebut gratis, namun ketika pemimpin ponpes meninggal dan digantikan oleh yang baru, dia diminta biaya tebusan, yakni Rp7 Juta untuk jjazah SMP dan Rp10 Juta untuk ijazah SMA.


Sugiyanto yang hanya berprofesi sebagai penjahit mengaku bingung diminta uang sebesar Rp17 Juta. "Saya mohon ke pondok dengan mengajukan surat miskin namun ditolak," kata warga Tegal Alur, Jakarta Barat.


Dia juga sempat mendatangi Komnas HAM, Kementerian Pendidikan Nasional dan Kementrian Agama. Namun nasib ijazah anaknya masih tidak jelas. "Saya sudah usaha ke sana kemari tapi tetap tidak ada kejelasan," lanjutnya.


Karena masih tidak ada jalan keluar, akhirnya Sugiyanto berniat menjual ginjalnya. Dia mengaku bersyukur jika ada orang yang mau memberikan bantuan kepada dirinya. Namun Sugiyanto juga siap jika memang harus kehilangan organ tubuhnya. (adi)
Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya